Hukum
Terbukti Peras Junior, Dokter PPDS Undip Divonis 9 Bulan Penjara, Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa

Hakim Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah menjatuhkan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum terhadap tiga terdakwa dalam kasus pemerasan terhadap dokter residen junior Universitas Diponegoro, Rabu (1/10/2025)
FAKTUAL INDONESIA: Terbukti melakukan pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut terhadap dokter residen junior, Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro Semarang Zara Yupita Azra dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.
Vonis itu dijatuhkan Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (1/10/2025).
Dalam kasus itu, Hakim juga menjatuhkan hukuman yang sama terhadap terdakwa kedua atas nama Sri Maryani, tenaga staf administrasi PPDS Anestesi Undip. Kemudian terhadap terdakwa ketiga atas nama Taufik Eko Nugroho, mantan Ketua PPDS Anestesi Undip, hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara.
Hukuman terhadap ketiga terdakwa itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Jaksa menuntut hukuman penjara selama 1,5 tahun terhadap Zara Yupita Azra dan Sri Maryani dan tiga tahun penjara untuk Eko.
“Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut,” kata Hakim Ketua Djohan.
Seperti dipantau pada media online metrotvnews.com, dalam pertimbangannya, hakim menilai terdakwa yang merupakan residen PPDS Anestesi angkatan 76 meminta para residen angkatan 77 untuk membayar iuran yang digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional selama menjalani pendidikan.
Iuran yang harus dibayarkan tersebut diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan, seperti penyediaan makan prolong hingga membiayai joki tugas residen senior.
Selain itu, terdapat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh residen junior akibat adanya sistem hierarki di lingkungan lembaga PPDS anestesi tersebut.
Hakim menilai perbuatan terdakwa tersebut tidak berdasarkan hukum atau sebagai perbuatan melawan hukum.
Hakim menilai terdapat relasi kuasa bersifat hierarki. “Kekuasaan satu pihak atas pihak lainnya,” tambahnya.
Menurut dia, terdapat sistem tingkatan antarangkatan yang berlaku turun temurun, serta pemberlakuan pasal dan tata krama anestesi dari senior terhadap junior.
Hakim menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau.
Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun penuntut umum menyatakan akan mempertimbangkan untuk banding.
Proses hukum ini menjadi perhatian publik terhadap sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Masyarakat mengharapkan adanya perbaikan sistem untuk mencegah terjadinya praktik serupa di masa depan. ***