Connect with us

Lapsus

Kekerasan Seksual: RUU TPKS Masih Berkutat, Predator Mencuat

Gungdewan

Diterbitkan

pada

Pengsahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS) dulu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengundang pro dan kontra

Pengesahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS) dulu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengundang pro dan kontra

FAKTUAL-INDONESIA: Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Pepatah ini bisa menjadi gambaran bagaimana upaya menghadirkan Undang Undang untuk mengatasi kekesarasan seksual di Indonesia. Maksud hati segera lahir UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) namun apa daya masih terus berkutat pembahasannya sementara predator seksual mencuat di mana-mana.

Sampai saat ini impian untuk memiliki UU TPKS baru sampai pembahasan tentang Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS) di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR-RI). Jadi perjalanan masih panjang.

Pembahasan RUU TPKS hingga proses pengesahan akan memakan banyak waktu. Setelah Baleg menyetujui draf RUU TPKS  maka masih perlu dibawa ke paripurna DPR. Selanjutnya, tentu proses pembahasan dengan pemerintah.

Mengingat hal tersebut maka lahirnya UU TPKS dipastikan tidak akan bisa tahun ini.

Sementara kasus pelecehan hingga kekerasan seksual sudah makin mencuat. Sudah terjadi sebelum RUU itu masuk dan dibahas di rumah wakil rakyat. Bahkan mungkin bisa terjadi lagi saat dan setelah pembahasan dan pengesahan.

Advertisement

Pembahasan RUU TPKS sempat berkutat soal nama dan jumlah pasal yang ada. Sebelumnya RUU itu bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Lalu kemudian menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Kemudian jumlah 128 pasal menciut  drastis menjadi 43 pasal. Jadi ada 85 pasal hilang.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS), Naila mengungkapkan, dari perubahan tersebut, perbedaan paling terlihat terletak pada bentuk kekerasan.

Menurutnya, sebelumnya RUU PKS menetapkan bentuk kekerasan sebanyak sembilan jenis: pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Sementara itu, lanjutnya, RUU TPKS atau draf terbaru hanya menetapkan bentuk kekerasan sebanyak empat: pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.

Advertisement

Naila mengatakan hilangnya sejumlah elemen kunci di RUU PKS ini merupakan kemunduran dalam upaya perlindungan korban kekerasan seksual.

“Proses pembahasan ini adalah sebuah progress yang baik, tapi perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual. Sebagai masyarakat sipil, kita perlu menguatkan kembali solidaritas kita pada korban kekerasan seksual dengan mendesak Baleg [Badan Legislasi] DPR RI untuk menyesuaikan materi RUU PKS dengan kebutuhan korban,” kata Naila dalam keterangan pers, Jumat (3/9/2021).

Lebih lanjut, Naila membeberkan beberapa ketentuan substantif dan prinsip yang hilang dalam perubahan judul RUU PKS menjadi RUU TPKS.

Sudah begitu, pembahasan hingga pleno di Baleg juga tidak semua fraksi menyetuji RUU TPKS dibahas pada tahap berikutnya.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Selly Andriany Gantina mengungkapkan Baleg DPR RI sudah selesai melaksanakan Pleno pengambilan Keputusan atas RUU TPKS.

Advertisement

Selly mengungkapkan, ada  7 fraksi yang menyetujui RUU itu menjadi RUU Inisiatif DPR untuk dibahas di tahap berikutnya. Ketujuh Fraksi itu adalah PDI Perjuangan, Nasdem, Gerindra, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP.

Sedangkan dua Fraksi, yakni Golkar dan PKS menolak RUU itu dimajukan ke tahap berikutnya.

“Alhamdulillah, Badan Legislasi DPR RI selesai melaksanakan Pleno pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang disetujui oleh 7 fraksi yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Nasdem, Gerindra, PKB, Demokrat, PAN, PPP, yang akhirnya akan menjadi Rancangan Undang-Undang Insiatif DPR dan akan dibahas ditahap berikutnya,” ungkap Selly.

Mencuat

Di kala para wakil rakyat berkutat membahas RUU TPKS maka kasus kekerasan seksual mencuat di mana-mana. Bahkan tindak pelecehan dan kekerasan seksual itu kebanyakan terjadi di lingkungan pendidikan. Kasus tertinggi justru ada di lingkungan universitas lantas disusul lingkungan pesantren.

Advertisement

Kasus terbaru yang terungkap terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah yakni Bandung, Tasikmalaya, dan Cilacap.

Pimpinan salah satu yayasan pesantren di Kota Bandung, HW (36), diduga bertindak cabul terhadap belasan santri sejak 2016. Beberapa santri bahkan sampai melahirkan.

Kemudian, polisi tengah mendalami kasus pencabulan yang diduga melibatkan guru di Kabupaten Tasikmalaya. Terlapor merupakan guru sekaligus pengasuh di salah satu pondok pesantren.

Di Jawa Tengah, tepatnya di Cilacap, terungkap kasus dugaan perkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan seorang guru pelajaran agama berinisial M (51) di Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Sebelumnya kasus dugaan pencabulan menjadi perhatian publik terjadi di Ogan Ilir Sumsel, Trenggalek, Jombang, Mojokerto Jawa Timur.

Advertisement

Itu yang terungkap dan mengemuka ke publik. Bisa saja terjadi kasus lainnya yang tidak mengemuka ke permukaan.

Yang lebih berbahaya lagi menggelindingnya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual itu serta pembahasan RUU TPKS akan membuat para predator seksual makin kuat menutupi aksinya.

Tindakan predator seksual ini sudah membuat Indonesia Darurat kejahatan sekasual. Penegakan hukum perlu dipertegas lagi bagi para pelaku tanpa pandang bulu. Bahkan ada yang mengusulkan hukuman kebiri dan hukuman mati.

Harapan yang masih menggantung sebagai harapan saja karena penjatuhan hukuman itu masih berkutat dalam wacana. Masih ada pro dan kontra.

Harapan juga muncul untuk segera disahkannya RUU TPKS menjadi UU. Ini mengingat makin ganasnya predator seksual mencari dan memakan korban di berbagai bidang kehidupan.

Advertisement

Semakin lama RUU tersebut diabaikan, maka akan semakin banyak korban kekerasan seksual.

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan umum maupun agama sudah sangat memrihatinkan. Oleh sebab itu, DPR dan pemerintah harus segera membahas RUU TPKS untuk disahkan menjadi UU.

“Keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai aksi kekerasan seksual yang terjadi di sejumlah lembaga pendidikan, baik yang umum maupun yang berlatar belakang agama. Para pemangku kepentingan harus segera bertindak agar kasus pelanggaran HAM ini segera berakhir,” katanya di Jakarta, Minggu (12/12/2021).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menginginkan kepolisian mengusut tuntas kasus pelecehan dan kekerasan seksual.

Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan selama ini Kementerian PPPA gencar menyuarakan dan menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Advertisement

Bintang menambahkan bahwa upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik pemerintah maupun masyarakat secara umum, termasuk aktivis HAM perempuan.

Dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual, Kemen PPPA juga terus mengawal dan mendorong agar kebijakan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan menjadi undang-undang.

“Kami juga berpesan kepada seluruh perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, kalian bisa melapor ke layanan dan penjangkauan korban di SAPA 129 atau bisa menghubungi call centre 08111-129-129 agar segera mendapatkan pertolongan,” kata Bintang

I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga meminta dukungan semua pihak agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (TPPKS) bisa disahkan pada akhir tahun 2021 mengingat urgensi terhadap tindak kejahatan terhadap perempuan dan anak yang kerap terjadi.

“Kami mohon dukungan semua pihak karena proses Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan ini sebenarnya sudah melalui proses yang sangat panjang. Ini perjuangan dari 2016, mudah-mudahan dukungan semua pihak rancangan undang-undang ini betul-betul bisa kita sahkan tahun ini,” kata Bintang. ***

Advertisement

Lanjutkan Membaca
Advertisement