Hukum
Akun Medsos Masih Milik Richard Lee, Dinilai Aneh Penetapannya Jadi Tersangka

Foto: Istimewa
FAKTUALid – Richard Lee tidak bisa dijadikan tersangka atas kasus akses ilegal. Sebab, akun media sosial (medsos) yang digunakannya itu adalah miliknya.
Hal tersebut dikatakan Kepala Biro Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Simamora. Sementara polisi telah menetapkan Richard Lee sebagai tersangka dalam kasus akses ilegal dan penghilangan barang bukti.
“Dia enggak bisa dijadikan tersangka atas akses ilegal,” kata Nelson seperti dilansir cnnindonesia.com, Jumat (13/8/2021).
Tindakan Richard, ujarnya, tidak bisa disangka dengan pasal 30 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sebab, dalam pasal itu disebutkan bahwa tindakan yang dipermasalahkan adalah ketika seseorang mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain.
“Enggak bisa karena pasal 30 disebutkan di situ jelas milik orang lain. Sedangkan, itu (akun) milik dia,” ucap Nelson.
Dia mengatakan, akun tersebut tetap menjadi milik Richard Lee meskipun polisi telah menetapkannya sebagai barang bukti. Akun tersebut tidak bisa menjadi milik kepolisian.
“Jadi yang disita kan akunnya, jadi bukan punya polisi. Itu tetap punya Richard Lee,” tuturnya.
Adapun jika terjadi tindak pidana, ucap Nelson, tidak semestinya polisi menyita akun tersebut. Penyitaan terhadap akun media sosial, ujarnya, merupakan tindakan berlebihan.
Ketika seseorang melakukan tindak pidana dengan menggunakan medium Instagram, katanya, tidak lantas diartikan melanggar hukum. Sebab, bentuk pelanggaran hukum bukan pada akun itu melainkan postingan di dalamnya.
“Postingannya yang melanggar hukum. Bukan akunnya. Akunnya cuma alat, tindak pidana itu sempurna ketika positngan itu keluar,” tuturnya.
Dan kemudian misalnya akunnya disita, ucapnya, tindakan itu berlebihan sampai sita akun.
Lebih lanjut, Nelson mengatakan jika memang polisi melakukan penyitaan akun, maka mereka harus melakukan tindakan yang membuat akun tersebut tidak bisa diakses.
Hal ini seperti dilakukan terhadap kasus Ravio Patra yang password emailnya diubah oleh kepolisian. Meski demikian, ujar Nelson, tindakan tersebut dinilai berlebihan.
“Itu berlebihan kan, ngapain sita email? Kan, ada informasi pribadi lain di situ. Kan, itu berlebihan. Cukup isi emailnya saja misalnya didokumentasikan sama polisi,” ujar Nelson.
Nelson lantas membandingkan dua kasus tersebut dengan kasus UU ITE yang menjerat Jumhur Hidayat.
Pihak kepolisian tidak menyita akun Jumhur melainkan hanya mendokumentasikan postingannya dengan cara screenshoot. Setelah itu, dilakukan pengujian oleh ahli forensik.
“Jumhur itu akunnya enggak disita. Polisi cuma kemudian mendokumentasikan twitnya dan kemudian mengecek twit itu secara forensik apakah benar atau tidak itu postingannya dari dia,” ucapnya.
Adapun saat mengakses akun, Richard Lee menghapus barang bukti, hal itu bisa dipersoalkan dengan pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Tapi itu dalam hal menghilangkan barbuk,” ujar Nelson.
Kepala Sub Divisi Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Mohamad Arsyad mengatakan, kasus tersebut belum jelas. Sebab, saat Richard mengakses akunnya terdapat tindakan menghapus barang bukti.
Meski demikian, Arsyad menyoroti pernyataan polisi bahwa akun tersebut merupakan barang sitaan. Semestinya, ucapnya, polisi menjaga dan melindungi barang sitaan.
“Kalau pemilik masih bisa akses artinya negara kecolongan dalam hal menjaga barang bukti yang disita,” ujar Arsyad.***