Politik
Jokowi Lakukan 11 Kali Pelanggaran Pemilu 2024, Mau Dibawa Kemana Demokrasi Indonesia?
FAKTUAL INDONESIA: Mau dibawa kemana demokrasi Indonesia? Pertanyaan ini layak dilayangkan setelah Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk Keadilan Pemilu mencatat Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan 11 kali pelanggaran pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024.
Catatan Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu yang terdiri atas Setara, Imparsial, KontraS, Centra Initiative, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Inklusif, menunjukkan legitimasi Pemilu 2024 sebenarnya sudah rapuh sekali.
Bayangkan, selain Jokowi yang seharusnya memberi keteladanan dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia, Koalisi LSM juga mencatat pelanggaran Pemilu 2024 yang dilakukan aparat negara lainnya.
Dari catatan koalisi, Jokowi melakukan 11 kali pelanggaran atau penyimpangan Pemilu 2024. Jokowi berada di urutan keempat. Pelaku penyimpangan netralitas pertama dilakukan oleh ASN pemerintah kabupaten (13), menteri (13), lurah atau kepala desa (12), presiden (11 kasus), polisi (9 kasus), ASN pemerintah provinsi (8 kasus), prajurit TNI (7 kasus), bupati (4 kasus), wali kota (4 kasus), dan camat (4 kasus).
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, data itu menunjukkan legitimasi Pemilu 2024 sebenarnya sudah rapuh sekali.
“Kita berharap rakyat terus mengawal pemilu agar pemilu tidak menjadi titik balik bagi otoritarianisme untuk menggantikan demokrasi,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dilansir Kompas.com, Jumat (9/2/2024).
Adapun pemantauan dilakukan pada rentang penetapan calon presiden dan calon wakil presiden, 13 November 2023 hingga 31 Januari 2024. Menurut Halili Hasan, ada tiga bentuk pelanggaran atau penyimpangan dalam Pemilu 2024, yakni pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesionalitas.
Halili kemudian merinci, ada tujuh tindakan pelanggaran, yakni dukungan ASN terhadap kandidat (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), dukungan terhadap kandidat tertentu (14 kasus), politisasi bansos (8 kasus). Kemudian, dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu (9 kasus), penggunaan fasilitas negara (5 kasus), dan dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu (2 kasus).
Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan, unsur terstruktur, sistematis, dan masif sudah terpenuhi dalam berbagai pelanggaran yang terjadi selama beberapa bulan ini. Aspek itu terpenuhi karena pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, misalnya presiden yang melakukan politisasi bantuan sosial dengan anggaran yang sangat besar.
Selain itu, ada pula para menteri, kepala daerah, hingga pejabat setingkat desa. ”Aspek terstrukturnya terpenuhi. Dia yang punya kewenangan untuk mengatur anggaran yang dialokasikan, didistribusikan. Di mana dan kapan, siapa saja targetnya. Jadi, secara sistematis ada kebijakan yang menopang, baik langsung maupun tidak langsung, kecurangan-kecurangan yang ada dan itu menguntungkan salah satu pasangan calon,” kata Armand.
Sementara itu, aspek masif dalam pelanggaran tersebut juga dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi di masyarakat yang sudah terdokumentasikan.
Adapun pemantauan data itu menggunakn metode pengumpulan, yakni pelaporan publik melalui platform penelusuran kasus (case tracking platform/CTP) berbasis google form dan desk study. Untuk menjamin validitas data pemantauan, Koalisi LSM menggunakan teknik triangulasi dengan menguji kesahihan data melalui pemeriksaan silang tiga sumber data; pelaporan, hasil desk review, dan pendalaman data oleh jaringan pemantau daerah.
Kejahatan Pemilu
Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu menyimpulkan bahwa sederet pelanggaran dan penyimpangan dalam proses Pemilu 2024 tidak bisa sekadar dikategorikan sebagai kecurangan pemilu, melainkan kejahatan pemilu. Koalisi tersebut menilai pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif sudah terjadi.
Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu menilai, penyelenggara negara mulai dari presiden, menteri, kepala daerah, aparatur sipil negara di semua tingkatan, hingga kepala desa dan lurah terlibat dalam kejahatan pemilu 2024.
Berdasarkan hasil pemantauan sejak penetapan paslon capres/cawapres pada 13 November 2023 hingga 31 Januari 2024, Koalisi LSM menemukan 121 kasus pelanggaran. Jumlah itu disebut meningkat 300 persen dibanding periode Mei-November 2023 yang mencapai 56 kasus.
”Begitu kandidat capres/cawapres ditetapkan, ada mobilisasi aparat besar-besaran,” kata Halili Hasan dari Setara Institute, Kamis (8/2/2024).
Ada tiga bentuk penyimpangan aparatur negara yang teridentifikasi, yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesionalitas. Dari tiga bentuk penyimpangan tersebut, Koalisi LSM menetapkan 31 kategori tindakan.
Halili menyampaikan, dari segi pelaku, Presiden RI Joko Widodo menjadi salah satu pelaku terbesar penyimpangan atau pelanggaran. Jokowi dinilai telah memobilisasi sumber daya negara untuk pemenangan kandidat tertentu. ***