Politik
Akademisi UGM: Pancasila Hadir sebagai Jembatan Perbedaan Suku, Ras, dan Agama dalam Konflik Intoleransi

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Leonard Chrysostomos Epafras, Pancasila merupakan kekuatan utama yang dapat menjadi penengah dalam konflik horizontal akibat intoleransi
FAKTUAL INDONESIA: Pancasila hadir sebagai jembatan perbedaan suku, ras, dan agama yang berbeda untuk menyelesaikan masalah dalam konflik horizontal akibat intoleransi.
Pancasila merupakan kekuatan utama yang dapat menjadi penengah dalam konflik horizontal akibat intoleransi.
Demikian dikemukakan Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Leonard Chrysostomos Epafras dalam keterangannya Sabtu (5/10/2024).
Leonard berharap agar masyarakat bisa lebih matang dan bijaksana dalam menghadapi isu yang berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan horizontal dengan memedomani kembali Pancasila.
Baca Juga : Putri Ariani Akhirnya Melanjutkan Studi di Fakultas Hukum UGM
“Jangan sampai kita mundur ke era pra-Pancasila ketika kita tidak punya konsep bersama. Pancasila mungkin bisa ditafsirkan dengan bermacam cara, tetapi tetap menjadi cara kita untuk saling terikat dan berhasil menjadi Indonesia yang seutuhnya,” kata Leonard sepereti dikutip dari antaranewas.com.
Leonard mengatakan bahwa Indonesia telah banyak belajar dari berbagai insiden yang dipicu oleh isu keagamaan.
Dia mengungkapkan bahwa konflik berlatar agama di Indonesia tidak hanya terjadi pada agama mayoritas, tetapi juga pada agama minoritas.
“Radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan Islam saja karena nyatanya ada kombatan di Ambon yang beragama Kristen. Mereka mendapatkan doktrin menggunakan Alkitab, namun ditujukan sebagai pembenaran tindak kekerasan yang dilakukan,” kata dia.
Padahal, lanjut dia, di dalam agama Kristen diajarkan bahwa manusia harus mengasihi dengan sesamanya.
“Biar bagaimanapun, manusia yang beragam agama dan latar belakang ini diciptakan dari Tuhan yang sama. Setiap insan harus sadar bahwa kita adalah keluarga besar dalam kemanusiaan,” ujarnya.
Dari kebanyakan kasus intoleransi di Indonesia, kata Leonard, pokok permasalahannya bukanlah dari berbedanya agama yang dianut.
Menurut dia, konflik terjadi karena adanya relasi mayoritas-minoritas atau kecemburuan pihak mayoritas terhadap yang dimiliki suatu kelompok yang jadi menjadi bagian minoritas di suatu wilayah.
Ia lantas mencontohkan NTT yang didatangi warga pendatang yang kebanyakan dari Jawa Timur dan Makassar.
Baca Juga : Tak Terkalahkan, MCC Preservasi Juara Rektor UGM Cup 2024
“Pendatang yang biasanya beragama Islam ini datang dengan usaha, etos kerja, dan akses permodalan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan warga setempat yang beragama Kristen.” ujarnya.
Ketimpangan yang awalnya murni karena faktor ekonomi, kata Leonard, menjadi makin melebar karena dikait-kaitkan dengan isu perbedaan agama, bahkan seolah menjadi legitimasi atas kecemburuan sosial yang dirasakan. ***