Connect with us

Politik

Putusan MK soal Usia Capres – Cawapres Rusak Tatanan Bernegara, Rakyat Bisa Beri Sanksi Elektoral Tidak Memilih Kandidat Bermasalah

Gungdewan

Diterbitkan

pada

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sorotan nepotisme terkait putusan MK soal Usia Capres – Cawapres yang membuat putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka lolos sebagai Cawapres mendamping Capres Prabowo Subianto. (Ist)

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sorotan nepotisme terkait putusan MK soal Usia Capres – Cawapres yang membuat putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka lolos sebagai Cawapres mendamping Capres Prabowo Subianto. (Ist)

FAKTUAL INDONESIA: Semakin kencang dan deras kecaman masyarakat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas minimal usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2024.

Keputusan MK yang akhirnya meloloskan Gibran Rakabuming Raka putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Cawapres pendamping Capres Prabowo Subianto membuat kehidupan demokrasi di Tanah Air dalam bahaya, berada di ujung tanduk karena lahirnya politik dinasti dan suburnya nepotisme di era reformasi.

Untuk menyelamatkan demokrasi dari bahaya dan rongrongan politik dinasti serta nepotisme maka rakyat perlu mengambil sikap dengan memberikan sanksi elektoral terhadap kandidat yang bermasalah dan merusak. Sanksi elektoral ini dengan tidak memilih kandidat yang bermasalah  karena lahir dari produk putusan MK yang merusak tatanan bernegara itu.

Demikian komentar keras yang disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah dan Peneliti Politik dan Kebijakan Danis TS Wahidin tentang keputusan MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman tentang tentang batas minimal usia capres – cawapres itu. Seperti diketahui Anwar Usman adalah ipar dari Presiden Jokowi dan paman dari Gibran Rakabuming Raka.

Dari pantauan media, Dedi Kurnia Syah menilai kehidupan demokrasi berada di ujung tanduk usai putusan MK tentang batas minimal usia capres-cawapres itu. “Demokrasi tentu terganggu, lahirnya politik dinasti, suburnya nepotisme,” katanya di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Advertisement

Menurutnya putusan MK itu membuka jalan bagi tumbuh suburnya nepotisme. Lebih parah lagi, MK dinilai telah merusak tatanan bernegara.

“Soal imbas putusan itu yang membuka potensi nepotisme, itu hanya bagian kecil, bagian besarnya adalah MK telah merusak tatanan yudikatif. Kerusakan ini bukan soal politik, tetapi tatanan negara ikut keropos,” ungkapnya.

Dedi berpandangan Ketua MK Anwar Usman layak dicopot dari jabatannya dan diproses hukum. Dedi mendasarkan pandangannya pada beberapa argumen yang menunjukkan pelanggaran krusial dalam putusan MK tersebut.

Pertama, hakim yang miliki relasi langsung dengan materi gugatan, seharusnya tidak ikut dalam merumuskan putusan. Kedua, MK tidak miliki wewenang mengubah, menambah maupun mengurangi naskah UU. MK hanya bisa membatalkan UU dan mengembalikan keputusan hukum ke DPR RI.

“Sehingga MK layak disebut merusak konstitusi, bahkan hakim yang ikut mengubah UU layak disebut kriminal,” tuturnya.

Advertisement

Sanksi Elektoral

Sementara itu, Peneliti Politik dan Kebijakan Danis TS Wahidin mengatakan, masyarakat bisa mengambil sikap dengan memberikan sanksi elektoral terhadap kandidat yang bermasalah dan merusak.

“Kesalahan politik harus diluruskan dengan kebenaran politik. Masyarakatlah sekarang harapan satu-satunya hukuman elektoral dengan tidak memilih kandidat yang bermasalah,” ujar Danis.

Putusan MK disebutnya sarat kepentingan, memuluskan nepotisme keluarga Presiden Joko Widodo. “Ada cacat hukum dalam pengambilan keputusan MK. Hakim-hakim membawa MK jauh ke ruang-ruang politik. Padahal MK dan DPR serta lembaga kepresidenan sejajar, tidak boleh saling intervensi,” sebut Danis.

Majunya Gibran menjadi Cawapres juga dinilai berdampak negatif terhadap politik di anak muda. “Hari ini kita sedang menghadapi era bonus demografi. Anak muda harus mulai dipercaya dan diberikan peluang mengisi jabatan-jabatan strategis, agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban demografi. “ Kata Danis.

Advertisement

“Tetapi dengan jalan dan aturan yang benar, dengan prestasi bukan prestise,dengan demokratis bukan dengan oligarkis. Anak muda harus dipahamkan tentang pentingnya nilai-nilai religiusitas, nasionalisme dan kenegarawanan,” imbuh Danis yang juga Dosen Ilmu Politik di UPN Veteran Jakarta ini.

Dia menambahkan, meski saat ini jalan Gibran terlihat mulus, namun berkerikil di perjalanan kedepan. Muncul sentimen negatif di masyarakat dan ini mempengaruhi elektabilitas pasangan Prabowo- Gibran.

“Pengaruh elektabilitas Gibran terhadap Prabowo tidak terlalu signifikan, Pak Prabowo sudah memiliki elektabilitas bawaan sekitar 30-40%, Gibran hanya sekitar 2-10%,“ tandas Danis. ***

Advertisement
Lanjutkan Membaca
Advertisement