Connect with us

Politik

Dianggap Menghambat Pemilu, Kata Pengamat Hakim PN Jakpus Bisa Dipidana

Avatar

Diterbitkan

pada

Ilustrasi kotak suara yang dipersiapkan dalam tahapan Pemilu 2024. (ist)

FAKTUAL-INDONESIA : Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengenai gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) membuat tahapan Pemilu 2024 harus ditunda.

Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin T Oyong dengan anggota H Bakri dan Dominggus Silaban memenangkan gugatan Prima tersebut.

Majelis hakim PN Jakarta Pusat kemudian menghukum KPU sebagai pihak tergugat untuk menunda tahapan pemilu yang telah berjalan.

Terkait hal itu, pengamat hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto menilai majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dapat dijatuhi sanksi karena putusan mereka memerintahkan KPU menunda tahapan Pemilu 2024.

Menurut Agus, putusan yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) itu bisa dianggap upaya menggagalkan pemilu.

Advertisement

“Ini agak unik karena sama-sama aneh, putusan PN ini aneh. Maka menurut saya bukan tidak mungkin hakim ini dapat disanksi pidana Pasal 516 UU Pemilu karena ini menggagalkan pemilu,” kata Agus dalam forum FGD di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2023).

Dia berpendapat putusan PN Jakarta Pusat itu inkonstitusional lantaran bertentangan dengan UUD 1945, UU Pemilu, UU Administrasi Pemerintahan, dan UU Kekuasaan Peradilan terkait kompetensi absolut.

Putusan PN Jakarta Pusat tersebut dinilai juga berpotensi batal demi hukum, sehingga putusan itu bisa dianggap tak pernah ada dan tidak perlu dilaksanakan KPU.

Selain itu, Agus menyinggung sejumlah kondisi yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Ia mencatat pada 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 30/PUU-XVI-2018.

Putusan MK kala itu mengatakan calon anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota partai politik. Namun, kemudian muncul putusan MA nomor 65/P/HU/2018 yang menyatakan sebaliknya.

Advertisement

Agus menyinggung pula putusan MA nomor 15P/HUM/2009 yang saat itu mengatur tata cara penetapan perolehan anggota kursi DPR dan DPRD oleh KPU bertentangan dengan UU Pemilu.

“Tapi tiba-tiba ada putusan MK yang mengatakan membenarkan tata cara yang dilakukan oleh KPU. Apa yang dilakukan KPU pada waktu itu? KPU memilih melaksanakan putusan MK,” ujar Agus.

“Bagaimana kalau putusan ini kemudian dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi sampai ke MA? Tidak usah khawatir, KPU pernah punya pengalaman itu, dan tidak melaksanakan putusan MA, sampai hari ini tidak ada yang protes itu, biasa-biasa saja,” imbuhnya.

Bertalian dengan putusan majelis hakim, Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo menegaskan putusan penundaan tahapan Pemilu 2024 itu belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah lantaran KPU menyatakan banding.

Selain itu, Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto menegaskan majelis hakin PN Jakarta Pusat tak bisa disalahkan soal putusan tersebut. Menurutnya, hakim memiliki independensi dalam membuat atau menjatuhkan putusan suatu perkara.***

Advertisement

Lanjutkan Membaca
Advertisement