Opini
Daripada Kecemplung Got, Lebih Baik Tetap Gajian
Oleh: Dwi Putro AA
FAKTUAL-INDONESIA: Masalah penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) beserta Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK) selalu terjadi setiap tahun. Perdebatan antara pihak serikat pekerja atau buruh dan pengusaha mengenai besarnya upah minimum ini kerap menimbulkan emosi yang tidak diinginkan.
Pihak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja harus berjuang keras mencari solusi agar ada titik temu di antara buruh dan pengusaha. Apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 ini buruh mengharapkan ada tambahan penghasilan untuk menutup pengeluaran mereka yang meningkat, sementara banyak pengusaha tengah babak belur usahanya.
Ruwet, tidak mudah, tapi memang harus terus dibahas sampai ada kesepakatan, seperti yang terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang sekarang ini.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan menolak Surat Keputusan (SK) Gubernur Banten tentang Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK) se-provinsi Banten Tahun 2022.
“KSPSI yang terafiliasi ke Andi Gani Nea Wea (AGN) ini menolak SK Gubernur Banten Nomor. 561/Kep282-Huk/2021 yang resmi dikeluarkan 30 November 2021, karena dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan hasil rapat kerja Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit,” kata Ketua Dewan Perwakilan Cabang KSPSI (AGN) Kabupaten Tangerang, Ahmad Supriyadi di Tangerang, Rabu (1/12/2021).
LKS Tripartit adalah forum musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja atau buruh.
Menurut dia, seharusnya SK Gubernur tentang pengupahan harus merujuk kepada hasil kesepakatan LKS tripartit Provinsi Banten pada tanggal 29 November 2021 yang telah menyetujui kenaikan UMK tahun 2022 sebesar 5,4 persen.
“Kami tegas menolak dan menuntut Gubernur Banten untuk merevisi SK UMK (Kabupaten atau Kota) Tahun 2022, dimana revisi merujuk pada pokok pikiran yang dirumuskan LKS Tripartit yaitu kenaikan Upah Sebesar 5,4 persen,” katanya.
Selain itu, ia menuturkan, bahwa SK Gubernur masih berdasar kepada PP No.36/2021 tentang Pengupahan sebagai aturan turunan dari UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang dalam amar putusan Mahkamah Konstitusional yang telah dinyatakan sebagai UU inkonstitusional bersyarat dengan kata lain UU tersebut belum merujuk pada konstitusi dan undang-undang dasar 1945.
“Seharusnya pemerintah dalam pengambilan kebijakan berlaku cermat dan peka, bahwa terdapat dalam putusan MK amar ke 7 agar menangguhkan pemberlakuan peraturan yang sifatnya strategis dan berdampak luas,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, jika segala tuntutannya belum terlaksana maka KSPSI akan melakukan aksi besar-besaran dengan jumlah massa yang lebih banyak untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang dilaksanakan di depan kantor Gubernur Banten.
“Pada 6 Desember 2021, kita lakukan aksi besar besaran depan kantor Gubernur Banten, apabila cara tersebut tidak berhasil, kita akan lakukan Mogok kerja secara serentak yang dimulai pada 21 sampai 23 Desember 2021,” kata dia.
Mengatasi Jurang Kesenjangan
Ancaman soal mogok kerja sekaligus melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, sebut unjuk rasa nasional, memang sudah jauh hari digaungkan sebagian buruh terkait upah minimum ini.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mengatakan akan menggelar mogok nasional lantaran menganggap kenaikan upah minimum provinsi 2022 terlalu rendah, rata-rata hanya 1,09 persen.
Pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah tegas tidak setuju atau menolak mogok kerja dan unjuk rasa seperti itu.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani menegaskan bahwa ketentuan di Indonesia tidak mengenal mogok kerja nasional. Pasalnya mogok kerja dapat dilakukan hanya di tingkat perusahaan.
Mogok kerja dapat dilakukan apabila dalam perundingan terdapat deadlock dalam perundingan antara pemberi kerja dan pekerja. “Kalau dialog itu deadlock, buruh punya hak mogok, perusahaan punya hak untuk lockdown menutup pabrik. Itu diatur di UU kita. Kalau ada acara mogok nasional, kami tidak setuju,” ujar Hariyadi, Kamis (18/11/2021).
Menurut dia, para pelaku usaha akan menegakkan regulasi yang ada. Ia pun berharap nantinya tidak ada pekerja yang dipaksa mogok, apalagi di-sweeping.
Bila terjadi sweeping, Hariyadi menegaskan pengusaha tidak akan berkompromi untuk menegakkan aturan.
“Enggak bisa dong. Enak aja orang kerja disuruh mogok. Apalagi kalau kalau nanti ada sweeping segala macam, kita tidak akan kompromi. Kita akan tegakkan aturan,” kata Hariyadi.
Bisa dibayangkan ruwetnya menyelesaikan masalah penetapan UMK ini, karena sudut pandang buruh dengan pemerintah dan pengusaha tidak sama.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah menegaskan bahwa pengaturan pengupahan saat ini masih menggunakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja dan meminta kepada kepala daerah untuk mengikuti sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
“Dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja oleh MK, sebagaimana yang telah disampaikan Bapak Presiden beberapa waktu lalu, seluruh materi dan substansi serta aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan oleh MK. Atas dasar itu, berbagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang ada saat ini, termasuk pengaturan tentang pengupahan masih tetap berlaku”, ujar Menaker Ida di Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Menaker mengatakan bahwa aturan terkait klaster ketenagakerjaan yang menjadi mandat UU Cipta Kerja telah diterbitkan sebelum putusan Mahkamah Konstitusi diumumkan. Karena itu, proses pengambilan kebijakan ketenagakerjaan saat ini masih harus mengacu pada aturan tersebut, begitu juga dengan terkait pengupahan.
“Oleh karenanya, saya kembali meminta kepada semua pihak, khususnya para kepala daerah untuk mengikuti ketentuan pengupahan sebagaimana diatur dalam PP 36/2021. Saya juga mengingatkan bahwa dalam PP tersebut tidak hanya mengatur tentang UM saja, tetapi juga terkandung aturan struktur dan skala upah yang harus diimplementasikan oleh pengusaha”, ujar Ida.
Dia mengatakan bahwa upah minimum adalah instrumen jaring pengaman bagi pekerja yang tidak boleh dibayarkan upahnya di bawah nilai minimum yang berlaku pada satu wilayah. Upah minimum juga hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja maksimal 12 bulan.
Formula dari Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berdasarkan PP No.36 Tahun 2021, kata Ida, ditujukan agar kesenjangan upah antar-wilayah tidak semakin melebar.
“Kita optimistis dengan mengatasi jurang kesenjangan ini, daya saing akan terungkit, iklim investasi dan dunia usaha kian bergairah yang berdampak pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Ujungnya, tentu kembali pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Ida.
Bisa-bisa Masuk Got
Dalam situasi pelik ini, mungkin pendapat Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia perlu direnungkan. Bahlil meminta buruh berjiwa besar terkait penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2022.
Bahlil mengungkapkan pandemi telah melanda Indonesia sejak tahun lalu, di mana pengusaha pun mendapatkan dampak yang cukup berat selama satu setengah tahun terakhir.
“Ini ibarat mobil, perusahaan-perusahaan ini baru lari pemanasan, baru ganti oli, tiba-tiba dikasih beban yang tinggi. Ini bisa-bisa mobilnya masuk got,” katanya, Rabu (1/12/2021).
Sebagai mantan pengusaha, ia menyebutkan pengusaha tak selalu berpikir untuk bisa mendapatkan keuntungan semata, tapi juga upaya untuk menjaga keberlangsungan usahanya.
“Karena kalau dia tidak punya kemampuan untuk bayar pegawainya, ya perusahaan itu tutup,” katanya.
Dari sisi buruh, sebagai mantan karyawan, Bahlil juga meminta para buruh agar bisa berjiwa besar menanggapi keputusan penetapan UMP 2022.
“Teman-teman buruh yang saya hormati, karena saya dulu juga pernah jadi karyawan, saya menghormati mereka. Tapi kita harus ada pada titik tengah. Yang penting mereka juga bisa dapat gaji, tetapi usahanya juga jangan dikasih beban yang terlalu tinggi juga. Kasihan ini mereka,” katanya.
Menurut Bahlil, meski pemulihan ekonomi mulai terjadi, kondisi berat masih dirasakan para pengusaha.
“Mereka ini punya kredit refinancing terus. Bunganya saja dibayar, sebagian pokok tidak bisa dibayar. Kalau ditambah beban lagi nanti lama-lama perusahaan tutup terus kita semua bubar. Sekarang kita pilih, tahan sedikit tapi perusahaan selamat atau kita paksain perusahaan bubar dan kita tidak dapat apa-apa,” katanya. ***